Info Sekolah
Senin, 06 Mei 2024
  • WELCOME TO Official Website Pondok Pesantren Modern Putri IMMIM Pangkep
  • WELCOME TO Official Website Pondok Pesantren Modern Putri IMMIM Pangkep

Meraih Ijazah Sanad Tafsir al-Qur’an

Oleh: Muhammad Farid Wajdi *)

Related Post: Seri Penamaan Surah-surah dalam Al-Qur’anul Karim

IMMIMPANGKEP – Alhamdulillah, satu kesyukuran dan kebahagiaan tersendiri dapat meluangkan waktu mengenyangkan diri dengan beragam khazanah Ilmu tafsir al-Qur’an, dalam Majelis Bersanad Kutub Tafsir yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Islam dan Bahasa Arab, “Al-Ahsan”, Medan dengan Mujiz: Ustadz Muhammad Azhar.

Apa itu Tafsir Al-Qur’an (b.arab: تفسير القرآن)? Tafsir al-Qur’an adalah suatu pokok kajian ilmu dalam khazanah keilmuan Islam untuk memahami dan menafsirkan isi dan kandungan al-Qur’an, yang diantaranya fungsinya adalah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) atau menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur’an.

Untuk kebutuhan ilmu tafsir ini, diperlukan banyak kebutuhan atau perangkat kajian ilmu, bukan hanya ilmu bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur’an dan isinya, biasa disebut Ushul Tafsir atau Ulumul Qur’an (Ilmu-ilmu al-Qur’an).

Terdapat tiga bentuk penafsiran al-Qur’an, yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fikih, ilmu tauhid, tasawuf, ilmiyah dan lain sebagainya.

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi ﷺ sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

Imam As-Suyuthi menukil dari az-Zarkasyi, menjelaskan bahwa Ilmu Tafsir adalah “ilmu untuk memahami kitabullah, Al-Qur’anul Karim, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya, sedangkan menurut istilah, ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian tafsir, yaitu:

1. Abu Hayyan dalam A-Bahru Al-Muhith

Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Qur’an (ilmu qira’at), madlulnya (ilmu bahasa arab), hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat (ilmu sharaf, ilmu I’rab, ilmu bayan, dan ilmu badi’), dan makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib (ilmu hakikat dan majaz) serta terkait dengan itu (termasuk di dalamnya ilmu nasakh, mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya).

2. Az-Zarkashi Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an

Tafsir adalah ilmu yang mengenal Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Artinya, tafsir adalah ilmu yang mempelajari inti kandungan kitab Al-Qur’an yang diturunklan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta penjelasan maknanya.

Tujuan pewahyuan Al-Qur’an adalah tadabbur, merenungi lafal-lafal Al-Qur’an dan memahami maknanya. Allah berfirman, “Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. (Qs. Sad: 29). Dalam ayat lain disebutkan, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Qs. Muhammad: 24).

Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Al-Qur’an, mempelajari lafal dan maknanya, sehingga mudah dalam pelaksanaan perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an.

Lihat pula: Menjadi Ahlul Qur’an

Sejarah Tafsir Al-Qur’an sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW. Jika muncul perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat, para sahabat dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah.  Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an antara lain 4 khalifah (khulafaur rasyidin), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, dan sahabat lainnya. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.

Pada masa berikutnya, generasi tabi’in yang belajar Islam, mendengarkan langsung al-Qur’an dan Hadits melalui para sahabat di wilayah masing-masing, muncul pusat-pusat pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri. Di Mekkah, dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabiah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani, dan Said bin Jabir. Di Medinah, dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-muridnya antara lain Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi, dan Zaid bin Aslam, dan di Irak, dengan madrasah Ibnu Mas’ud dengan murid-muridnya antara lain Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah bin Da’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani, dan Marah al-Hamdani.

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri meski belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi, dan yang lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut Tafsir bil Ma’tsur.

Masa selanjutnya, Khazanah keilmuan Islam berkembang pesat. Pada masa Dinasti Abbasiyah, metodologi Ilmu Tafsir berkembang dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar, meski masih tetap berpegang pada tafsir bi al-Ma`tsur, hingga lahirlah tafsir bi ar-ra’yi yang memperluas ijtihad itu, dan masa berikutnya ketika Tasawwuf ikut mewarnai Tafsir, lahirlah pula metodologi yang disebut sebagai tafsir isyari.

Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Al-Qur’an merujuk pada sumber-sumber berikut:

1. Kalamullah (Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah adalah Yang menurunkan Al-Qur’an sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Misalnya Lafal Auliya’ Allah, “أَوْلِيَاءَ اللَّهِ” pada Qs. Yunus (10): 62, tentang siapa itu Wali-wali Allah, dijelaskan sendiri Allah dalam Qs. Yunus (10): 63, yaitu Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Dan banyak lagi contoh lainnya dalam al-Qur’an.

2. Perkataan Rasulullah (maksudnya Al-Qur’an ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah adalah pembawa kabar dari Allah sehingga Rasulullah adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh dalam Qs. Yunus (10); 26. Nabi menafsirkan lafal “زِيَادَةٌ” (ziyâdah, tambahannya) dengan ‘melihat wajah Allah’, berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa (Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya dalam tafsirnya 6/1945, hadis no. 10341. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam Syarḥ Ushûl al-I’tiqâd cetakan kedua 3/458-459, hadis no. 785) dan Ubay bin Ka’ab (Ath-Thabari mengeluarkannya dalam tafsirnya 15/69, hadis no. 17633. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam Syarḥ Ushûl al-I’tiqâd cetakan kedua 3/456). 

3. Perkataan sahabat, terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, pada masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh: Qs. An-Nisaa (4): 43,  Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan ‘menyentuh perempuan’ dengan ‘hubungan badan’.

4. Perkataan tabi’in, yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat, karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Al-Qur’an daripada generasi setelahnya. Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al Fatawa, “Apabila terdapat konsensus di antara para tabi’in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu.”

5. Konsekuensi makna syar’i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat berdasarkan firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,” (Qs. an-Nisaa (4): 105), “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya),” (Qs. Az-Zukhruf (43): 3) dan “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Qs. Ibrahim (14): 4).

Jika makna syar’i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar’i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa. Hal itu dikarenakan Al-Qur’an turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa. Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar’i, kemudian diambil makna syar’i, firman Allah tentang orang-orang munafik, Qs. at-Taubah (9): 84, “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka”. Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan ‘menyembahyangkan.’) Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar’i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar’i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.

Dalam Majelis Kutub Tafsir, kitab tafsir yang penulis peroleh sanadnya, dan bersambung hingga penulisnya adalah Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Kitab Tafsir Jalalain. Selengkapnya lihat link berikut dan penjelasan singkatnya:

– Meraih Ijazah Sanad Kitab Tafsir Ibnu Katsir

Kitab Tafsir Ibnu Katsir merupakan satu contoh Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas (syarah) Kitabullah, dengan perkataan sahabat. Rasulullah dan Para sahabatlah yang dianggap paling memahami al-Qur’an, setelah itu barulah perkataan atau pendapat para tabi’in, karena mereka berguru langsung dari para sahabat.

– Meraih Ijazah Sanad Kitab Tafsir Jalalain

Kitab Tafsir Jalalain merupakan satu contoh Kitab Tafsir bi al-ra’yi, atau disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath. Istilah tafsir bir-ra’yi dijadikan sebagai lawan dari tafsir bil ma’tsur, dari makna kata “ra’yu” adalah logika, pendapat, akal dan opini ulama’. Tafsir bi al-ra’yi mendasarkan sumber penafsiran dan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri. Kadang juga diistilahkan dengan tafsir bid-dirayah, yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami.

Menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni, makna ra’yu adalah al-ijtihad. yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi juga demikian adanya. Ada yang dianggap benar yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.

Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Kitab Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min ‘alaq” (qS. aL-aLAQ: 2)

Kata ‘alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Ketika menjelaskan makna bahasa suatu kata dalam Al-Quran, sang mufassir menjelaskan bahwa secara makna bahasa, kata yang dimaksud itu punya akar kata terTentu dan juga dijelaskan bagaimana penggunaannya bahasa arab tersebut. Tentu penjelasan secara kebahasaan seperti ini tidak datang dari Nabi SAW, para shahabat atau tabi’in, melainkan datang dari diri sang mufassir sendiri yang mana dia memang ahli di bidang bahasa Arab.

Dan di masa modern para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan seringkali mengaitkan informasi di dalam suatu ayat dengan apa-apa yang mereka temukan dalam fakta-fakta ilmiyah. Tentu temuan mereka ini juga tidak bersumber dari atsar, melainkan dari hasil pengamatan mereka sendiri serta fakta-fakta dalam ilmu pengetahuan sendiri. Maka semua hal itu oleh kebanyakan ulama masih dianggap sebagai bagian dari bentuk penafsiran Al-Quran, dan dinamakanlah dengan istilah tafsir bir-ra’yi, sebagai antitesis dari tafsir bil ma’tsur. Dalam implementasinya, tafsir bir-ra’yi ini oleh para ulama dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir dengan logika yang terpuji dan tasfir dengan logika yang tidak terpuji. Memang begitulah istilah yang digunakan, yaitu terpuji dan tidak terpuji. Nampaknya penggunaan istilah ini ingin menghindari klaim benar atau salah.

Maka demikianlah dua ijazah sanad kitab Tafsir yang telah penulis raih. Untuk saat ini kedua kitab tafsir tersebut cukup sebagai bahan pembelajaran Ilmu dan Metodologi Tafsir, mewakili Kitab Tafsir yang disusun dengan metode bil ma’tsur dan bi’ ra’yi. Tentu kedepannya, sebagai suatu usaha yang tak boleh putus, sebagai “thalabul ilmi”, kita pun perlu belajar dan mengkaji Kitab Tafsir lainnya, dan mengejar sanadnya, serta mempermantap dan memperluas pemahaman tafsir itu sendiri dalam khazanah keilmuan Islam.

Demikian catatan singkat ini sebagai pengingat majelis ilmu/kitab tafsir bersanad yang telah diikuti. Semoga bermanfaat adanya. Barakallahu fiikum. (*)

 

(* Muhammad Farid Wajdi, Guru/Pengasuh Ponpes Modern Putri IMMIM Pangkep, Sulsel.

 

Iklan

INFO PESANTREN

Pondok Pesantren Modern Putri IMMIM Pangkep

NPSN 40300674
Jl. H Fadeli Luran, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, 90614
TELEPON 081257328077
EMAIL immimpangkep@gmail.com
WHATSAPP +62-81257328077