Rabu, 15 Mei 2024
  • Pondok Pesantren Putri IMMIM Pangkep, Pesantren yang khusus menerima santri putri ini, kampusnya berada di bilangan jalan poros Kecamatan Minasatene Kabupaten Pangkep

Mengakrabi Kitab ‘Fikih’ Fathul Muin dan Terjemahnya Bab Shalat (7)

Mengakrabi Kitab ‘Fikih’ Fathul Muin dan Terjemahnya Bab Shalat (7)

Oleh: Muhammad Farid Wajdi *)

BLOGGURU – Melanjutkan pembahasan Bab Shalat dalam Kitab Fathul Muin, pada Bagian ketujuh ini dituliskan terjemah dari Pasal tentang Makmum Masbuk, Syarat-syarat Bermakmum, serta Uzur-uzur Shalat Berjamaah,  sebagaimana tertulis dalam Kitab Fikih karya Syekh Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibari tersebut.

Satu rakaat akan didapatkan oleh makmum masbuk yang mendapatkan imamnya sedang rukuk, dengan dua hal yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama dapat bertakbiratul ihram dan takbir turun untuk rukuk.

Jika ia hanya mencukupkan takbiratul ihram, maka takbir itu harus dimaksudkan untuk takbiratul ihram saja. Makmum masbuk juga menyempurnakan takbiratul ihramnya, sebelum imam berada pada posisi batas minimal rukuk. Kalau tidak bisa menyempurnakan sedemikian rupa, maka rakaatnya belum termasuk, kecuali bagi makmum yang belum mengerti hal itu, maka salatnya sebagai salat sunah.

Lain halnya jika masbuk itu niat untuk rukuk saja (maka rakaat/ salatnya tidak jadi), sebab di situ tidak terdapat takbiratul ihram, atau begitu juga niat rukuk dibarengkan takbiratul ihram (maka tidak jadi), sebab menyekutukan (antara fardu dengan sunah) atau juga kalau memutlakkan (tidak niat rukuk dan tidak niat takbiratul ihram, maka juga tidak jadi), sebab terjadi pertentangan dua garinah, yaitu garinah-takbir untuk iftitah dan turun melakukan rukuk. Karena itu, wajib niat takbiratul ihram agar bisa terbedakan dengan takbir lawannya, yaitu takbir untuk rukuk.

Kedua, dengan mendapatkan rukuk bersama imam yang sudah dapat dianggap cukup (sebagaimana imamnya adalah orang yang suci -pen). Sekalipun hal itu dilakukan oleh makmum secara gegabah, yaitu misalnya tidak segera mengerjakan takbiratul ihram hingga imam sudah rukuk.

Tidak masuk dalam kata “rukuk”, apabila makmum masbuk menemui imamnya pada selain rukuk, misalnya iktidal, juga dikecualikan dengan kata “rukuk yang mencukupi,bagi imam”, apabila rukuk imam tidak dianggap Cukup, seperti rukuk imam yang menanggung hadas (atau najis) dan rukuk imam pada rakaat tambahan (yang terjadi karena ia lupa, lantas berdiri -pen).

Terdapat di dalam kaidahkaidah Imam Zarkasi, yang kemudian dinukil oleh Imam Al-‘Allamah Abus Su’ud bin Zhuhairah di dalam. Hasyiyah Al-Minhaj, bahwa disyaratkan juga adanya imam harus Ahlit tahammul (menanggung). Karena itu, jika ia seorang anak kecil, maka bagi makmum masbuk di atas tidak bisa mendapatkan rakaat, sebab anak kecil itu bukan ahli tahammul.

Rukuk yang dilakukan oleh makmum masbuk tersebut harus sempurna. Misalnya harus berthuma’ninah sebelum imam kembali dari rukuknya dalam ukuran minimum, yaitu batas di mana dua telapak tangan telah sampai pada kedua lutut. Demikian itu, mabuk harus berkeyakinan telah thuma’ninah bersama imamnya pada waktu rukuk.

Apabila makmum masbuk tidak bisa berthuma’ninah dalam rukuknya sebelum imam kembali berdiri dari rukuk, atau masbuk merasa ragu atas pelaksanaan thuma’ninah, maka dia tidak bisa dihukumi mendapatkan rakaat. (Setelah masbuk yang ragu tersebut menambah satu rakaat setelah imam salam), maka dia sunah bersujud sahwi -sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Al-Majmu’-, sebab keraguannya terjadi setelah salam imam, tentang bilangan rakaat yang berarti imam tidak bisa menanggungnya.

Dalam hal ini, Imam Al-Asnawi mengemukakan pembahasannya, bahwa hukumnya wajib mengikuti imam yang sedang rukuk, karena untuk mendapatkan satu rakaat dalam waktu salat. (Contoh masalah: Jika waktu salat sudah sempit, seseorang menemukan orang yang salat dalam keadaan rukuk: jika ia bermakmum dengannya, maka ia masih menemukan satu rakaat dan jika ia salat sendirian, maka Udak mendapatkan satu rakaat dalam waktunya, maka dalam keadaan seperti ini ia wajib mengikutinya -pen).

(Jika masbuk menemukan Imamnya sudah bertakbir intigal dari rukuknya -pen), bagi masbuk sunah ikut bertakbir intigal bersamanya. Karena itu, jika ia menemukan imamnya dalam keadaan iktidal, maka ia harus bertakbir untuk turun dan kepindahan rukun-rukun seterusnya, (Sedang apa yang dikerjakan tidak dihitung rakaatnya -pen): kalau mendapatkan imam dalam keadaan sujud, umpama -selain sujud tilawah-, maka ia tidak boleh ikut bertakbir untuk turun bersujud.

Sunah bagi masbuk mengikuti imamnya dalam membaca zikir yang ditemuinya bersama imam, yaitu membaca tahmid, tasbih, tasyahud dan doa. Demikian juga dalam hal membaca selawat atas keluarga Nabi saw., sekalipun pada tasyahud awal makmum, sebagaimana yang dikemukakan, oleh Guru kami (Ibnu Hajar).

Sunah membaca takbir bagi masbuk ketika akan berdiri sesudah sang imam dua kali salam, apabila duduk yang dilakukan bersama imam duduk tasyahud akhir itu tepat dengan duduk masbuk. ika ia salat sendirian, misalnya masbuk mulai masuk salat pada rakaat ketiga dalam salat yang berakaat empat atau kedua pada salat Magrib.

Kalau tidak bertepatan seperti itu, maka baginya tidak sunah bertakbir untuk berdiri. Sunah mengangkat tangan bagi makmum masbuk sebagai mengikuti imamnya yang hendak berdiri dari tasyahud awal, sekalipun hal ini tidak bertepatan dengan duduk tasyahud masbuk. Bagi masbuk tidak disunahkan duduk tawaruk pada selain duduk tasyahud akhirnya.

Sunah baginya tidak berdiri dahulu, kecuali setelah imamnya mengucapkan dua kali salam: dan haram baginya diam setelah kedua salam imam. Jika duduk tersebut bukan merupakan tempat duduknya (andaikata dia salat sendirian, yaitu daduk tasyahud awal -pen). Karena itu, jika dia diam dengan disengaja dan mengerti akan keharamannya, maka batal salatnya.

Masbuk tidak boleh berdiri sebelum salam imam (yang pertama). Kalau hal itu dilakukan dengan sengaja dan tanpa niat mufaragah, maka batallah salatnya. Yang dimaksudkan dengan mufaragah di sini, adalah mufaragah dari batas duduk. Tetapi, jika hal itu dilakukan karena lupa atau memang tidak mengerti akan masalah tersebut, maka semua perbuatan salatnya setelah berdiri itu tidak dianggap, sehingga ia kembali duduk, kemudian berdiri untuk meneruskan salatnya, setelah sang imam salam.

Sewaktu ia mengerti (atau ingat, bahwa ia berdiri sebelum sang imam salam -pen) dan ia tidak mau kembali duduk, maka batalah salatnya.

Masalah ini berbeda dengan makmum yang berdiri meninggalkan imam dengan sengaja pada tasyahud awal. Makmum yang semacam ini, semua bacaan yang dibaca sebelum imam bediri (dari tasyahud awalnya), adalah dianggap sah, sebab ia tidak wajib kembali duduk lagi.

Syarat-syarat menjadi makmum itu, antara lain:

  1. Niat mengikuti imam, berjamaah atau bermakmum dengan imam yang hadir, niat salat bersamanya atau juga niat menetapkan diri menjadi makmum, yang niat itu semua wajib disertai takbiratul ihram. Karena itu, jika niat igtida’ tidak bersamaan takbiratul ihram, maka kalau yang dilakukan itu salat Jumat menjadi tidak sah, karena dalam pelaksanaan salat Jumat harus berjamaah, maka salat tetap sah sebagai salat sendirian, bukan jamaah. Jika niat seperti tersebut ditinggal atau merasa ragu atas penunaiannya dan ia tetap mengikutkan perbuatan salatnya kepada orang lain, misalnya orang itu turun rukuk, ia mengikutinya atau mengikuti salam orang lain tanpa maksud iqtida’ serta menanti perbuatan atau salam (karena untuk ikut) dengan waktu yang cukup lama menurut ukuran umum, maka batal shalatnya. Niat menjadi imam atau berjamaah bagi imam selain salat Jumat hukumnya sunah, hal itu agar bisa memperoleh fadhilah jamaah, dan menghin-dari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya (Al-Khuruj minal khilaf, mustahab -pen). \Niat menjadi: imam yang dilakukan bersamaan takbiratul ihram adalah sah,sekalipun di belakangnya hanya ada seorang jika ia percaya, bahwa orang tersebut akan berjamaah -menurut beberapa tinjauan-, sebab ia akan menjadi imam. Imam yang tidak berniat menjadi imam, sekalipun karena tidak mengerti kalau ada beberapa orang yang mengikutinya, maka fadhilah jamaah bagi makmum-makmum tersebut tetap diperoleh, namun untuk sang imam tidak. Jika ia berniat menjadi imam di tengah-tengah salat, maka sejak itulah ia memperoleh fadhilah jamaah. Mengenai imam dalam salat Jumat, maka niat menjadi imam hukumnya adalah wajib, sejak bertakbiratul ihram.
  1. Makmum tidak berada di tempat yang lebih depan daripada imam, dengan tumit yang dipandang secara yakin, sekalipun jari-jari makmum melebihi imamnya. Tentang merasa ragu atas lebih maju, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa. Demikian juga tidak ada masalah, jika antara imam dan makmum bersejajar, tapi hal itu hukumnya makruh. Sunah mengambil tempat di arah kanan imam bagi laki-laki, ‘ sekalipun anak kecil, jika tidak ada makmum yang hadir lainnya. Jika makmum tersebut tidak berdiri di sebelah kanan imam, maka bagi sang imam sunah memindahkan ke arah kanannya (tanpa mengerjakan perbuatan yang banyak -pen) sebab hal itu mengikuti Nabi.  Tempat makmum tersebut agak ke belakang sedikit dari imam, sebagaimana jari-jari nakmum berada di belakang tumit sang imam. Tidak masuk ketentuan lakilaki, apabila makmum adalah Wanita. Maka bagi wanita, hendaklah mengambil tempat di belakang imam dengan lebih membelakang. Kemudian, jika ada laki-laki lain yang baru datang, hendaknya mengambil tempat sebelah kiri imam dengan sedikit ke belakang. Kemudian, setelah bertakbiratul ihram, dua orang makmum tersebut sunah mundur ketika masih berdiri atau rukuk, sehingga mereka membentuk barisan di belakang imam (jika kedua makmum tidak mau mundur, maka imam yang sunah maju atau ke depan -pen). Sunah bagi dua orang makmum laki-laki yang kebetulan ” datang bersama atau beberapa orang laki-laki yang bermaksud igtida kepada imam, hendaknya berbaris di belakang imam. Sunah mengambil tempat di baris pertama, yaitu baris yang tepat di belakang imam, sekalipun terhalangi oleh mimbar atau tiang, kemudian barisan setelah’ yang pertama dan seterusnya. Bagian setiap baris yang paling utama, adalah bagian kanan imam. Jika dihadapkan antara berdiri sebelah kanan imam (tapi tidak pada baris pertama) dengan berdiri di barisan pertama (tapi tidak berada di sebelah kanan imam), maka hendaklah mendahulukan mana yang jelas fadhilahnya (yaitu barisan pertama). Dan jika dihadapkan antara berdiri di sebelah kanan imam (tapi jauh darinya) dengan berdiri di sebelah kiri, tapi dekat jaraknya dengan. imam, maka yang lebih utama adalah sebelah kanan imam. Mendapatkan baris terdepan, adalah lebih utama daripada mendapatkan rukuk rakaat selain terakhir. Adapun mendapatkan rukuk imam rakaat terakhir, adalah lebih utama jika dibandingkan bermaksud mendapatkan barisan pertama yang mengakibatkan tidak mendapatkan rukuk imam rakaat terakhir itu. Makruh bagi makmum menyendiri di luar barisan yang tunggal jenisnya, jika ternyata baris tersebut masih ada lowongan, akan tetapi (yang sunah), adalah memasuki tempat itu. Makruh memasuki barisan di mana barisan depannya belum penuh. Begitu juga makruh bagi laki-laki yang sendirian berdiri di sebelah kiri atau belakang imam, bersejajar atau ke belakang jauh. Semua kemakruhan di atas dapat menghilangkan fadhilah berjamaah, sebagaimana yang dijelaskan oleh fukaha. Sunah antara barisan satu dengan lainnya dan antara barisan pertama dengan imam, jaraknya tidak melebihi tiga hasta. Sunah bagi makmum laki-laki berbaris di belakang imam, kemudian di belakang mereka adalah anak-anak, lalu wanita. Anak laki-laki tidak boleh dipindah ke belakang, kemudian ditempati laki-laki yang sudah balig. sebab mereka sama jenisnya.
  1. Mengetahui gerak perpindahan salat imam, baik dengan melihat langsung atau melihat sebagian barisan, mendengar suara Imam atau penyambungan Suara Imam yang dapat dipercaya;
  2. Imam dan makmum berkumpul di tempat, demikian itu seperti diketahui pada jamaah-jamaah di masa yang telah lewat. Karena itu, jika makmum dengan imam berada dalam mesjid, maka hukum igtida’ adalah sah, sekalipun jarak antara keduanya melebihi 300 hasta atau masing-masing bertempat di lain bangunan dalam mesjid tersebut. Termasuk di sini, dinding. atau serambi, yaitu tempat (daerah) di luar mesjid, tetapi dikilung Untuk memperluas mesjid. Baik serambi itu sudah diketahui akan status kewakafannya itau tidak, sebab melakukan lahir, yaitu “dikilung”. Asal tidak diyakinkan, bahwa serambi tersebut dibangun setelah pembangunan mesjid atau serambi itu bukan mesjid. Tidak termasuk dari mesjid adalah harim mesjid. Yaitu tempat yang bersambung dengan mesjid dan disediakan untuk kemaslahatan mesjid, misalnya pancuran air dan tempat meletakkan sandal. Igtida’ menjadi sah, sekalipun jarak di antara: kedua beian pihak melebihi 300 hasta ataupun bertempat di lain jenis bangunan dalam mesjid itu. Lain halnya dengan orang yang berada dalam bangunan mesjid yang pintunya tidak dapat terus (menembus) ke tempatnya, seperti pintu tersebut dipaku, atau dia berada dalam loteng yang tidak bertangga, maka bermakmum yang demikian itu hukumnya tidak sah, sebab mereka dianggap tidak berkumpul. Seperti tidak sah orang-orang di balik jendela dinding mesjid, yang dari tempat itu tidak bisa berjalan ke tempat imam, kecuali dengan berputar atau memuelok, misalnya ia mesti membelok dari. arah kiblat jika hendak masuk ke tempat imam. Jika salah satunya berada di dalam mesjid, dan satu lagi berada di luarnya, maka disyaratkan: jarak antara orang yang berada dalam mesjid dan yang di luarnya, tidak melebihi 300 hasta dengan perhitungan kira-kira (jarak 300 hasta dihitung dari akhir mesjid dengan makmum -pen) dan di antara mereka tidak terdapat penghalang seandainya menuju pihak lainnya atau penghalang pandangan mata. Atau dengan cara ada orang di antara para makmum yang bertempat di hadapan lubang pada tabir itu, jika mereka berdua berada dalam dua bangunan, misalnya yang berada di tengah rumah, sedangkan yang satu lagi berada di terasnya. Atau bila yang satu berada dalam suatu bangunan dan yang satu lagi berada di tanah lapang, maka mereka disyaratkan juga seperti syarat yang telah lewat (jaraknya tidak jauh, tiada penghalang atau ada orang yang berdiri di lubang/jalan tembus -pen). Apabila di antara keduanya terdapat penghalang yang dapat mencegah lewat ke arah mereka, misalnya jendela atau menghalangi pandangan mara, misalnya pintu yang tertutup, sekalipun tidak terkunci, karena dapat menghalangi untuk menyaksikan, dan sekali pun tidak menghalangi makmum untuk berjalan ke tempat imam semisal juga tabir yang terurai, atau tidak ada orang yang berdiri di jalan tembus (lubang), maka igtida’ ini tidak sah. Apabila terdapat seorang yang berdiri di hadapan lubang (pintu) tembus hingga dapat melihat imam atau makmum yang salat bersama dalam bangunan imam, maka sah salat makmum yang berada di tempat lain dengan cara mengikuti orang yang menyaksikan tersebut. Orang yang berdiri tersebut kedudukannya sebagai imam bagi makmum yang berada di tempat lain tadi, yang dengan demikian mereka tidak boleh mendahuluinya dalam posisi berdiri atau takbiratul ihramnya. Tapi mendahului dalam perbuatan salatnya, tidak mengapa. Kebatalan salatnya tidak mempengaruhi salat makmum itu, asal hal ini terjadi setelah mereka bertakbiratul ihram .menurut beberapa wajah pendapat-. Masalah ini sebagaimana bila pintu tertutup oleh angin di tengah-tengah salat. Demikian ini karena: Sesuatu yang tidak bisa diampuni karena baru mulai, adalah dapat diampuni karena hanya meneruskan.

 

Cabang:

Apabila salah satu pihak bertempat di atas, sedangkan yang satu lagi berada di bawah, maka disyaratkan antara keduanya Uada penghalang. Tidak disyaratkan, agar telapak kaki yang berada di atas berada tepat di atas kepala orang di bawah, sekalipun mereka berada di luar mesjid, menurut penjelasan kitab Ar-Raudhah dan aslinya serta Al-Majmu’. Sementara segolongan ulama Mutaakhirin mempunyai pendapat lain.

Makruh salah satu pihak berada di tempat yang lebih tinggi tanpa ada hajat, sekalipun di dalam mejid,

  1. Ada kesamaan di dalam melakukan atau meninggalkan sunah-sunah yang sangat mencolok ketidakserasiannya jika diselisihi. Karena itu, salat makmum menjadi batal, jika terjadi perselisihan dengan imam dalam melakukan (meninggalkan) sunah, misalnya sujud Tilawah yang dilakukan olch imam, tapi oleh makmum ditinggal dengan sengaja dan mengerti keharamannya (atau makmum sengaja melakukan, tapi imam tidak melakukan, scbab masalah sujud Tilawah, makmum harus ada kesamaan dengan imam dalam melakukan atau meninggalkannya -pen), atau tasyahud awal yang dilakukan oleh imam, tetapi makmum tidak melakukannya atau sebaliknya dengan sengaja dan mengerti, sekalipun dalam waktu yang singkat makmum (yang melakukan tasyahud awal, sedang imam meninggalkannya -pen) bisa mengejar kembali salat imam -selagi dalam hal ini imam tidak melakukan duduk istirahah.  Demikian ini dihukumi batal, karena makmum telah berpaling dari mengikuti imam yang justru wajib, untuk berpindah mengerjakan hal yang sunah (mengenai tasyahud awal, bagi makmum wajib ada kesamaan dengan imam dalam meninggalkannya, tidak wajib dalam melaksanakannya. Sehingga jika imam meninggalkan tasyahud awal, maka bagi makmum wajib meninggalkan, tapi jika imam mengerjakannya, maka bagi makmum boleh meninggalkan dan berdiri dengan sengaja. Lain halnya kalau berdirinya karena lupa, maka ia wajib duduk mengikuti imamnya -pen). Apabila perselisihan itu tidak menyebabkan ketidakserasian yang mencolok, maka tidak mengapa mengerjakan sunah itu, misalnya membaca Ounut (yang imam tidak berqunut), di mana makmum bisa menyusul imam pada sujud pertama. (Mengenai qunut, bagi makmum tidak wajib ada kesamaan dengan imam dalam melaku. kan maupun meninggalkannya. Karena itu, jika imam berqunut, bagi makmum boleh meninggalkannya dan dengan sengaja berdiri, dan jika imam – meninggalkannya, bagi makmum sunah berqunut, jika ja dapat menyusul imam pada sujud pertama, dan boleh berqunut, jika ia dapat menyusulnya pada duduk di antara dua sujud, namun jika ia dapat menyusulnya pada sujud kedua, maka tidak boleh melakukannya -pen).  Qunut berbeda dengan tasyahud awal, sebab pada tasyahud awal seperti contoh di atas, berarti makmum melakukan duduk yang tidak dilakukan oleh imam, sedang dalam masalah qunut ini, makmum hanya memperpanjang iktidal imam, maka dari itu tidak sampai terjadi ketidakserasian. Begitu juga tidak menjadi masalah, jika makmum melakukan tasyahud awal, apabila imam melakukan duduk istirahah. Sebab pada dasarnya yang menjadi masalah (membatalkan) salat di sini, adalah melakukan duduk yang tidak dilakukan oleh imam. Kalau imamnya tidak duduk istirahah, maka bagi makmum tidak boleh melakukan tasyahud awal, dan bagi makmum  yang sengaja serta mengetahui hukumnya, adalah membatalkan salatnya, kalau ia tidak berniat mufaragah (memisahkan diri) dari imam. Mufaraqah yang terjadi seperti itu adalah disebabkan uzur, karena itu lebih utama dilakukannya. Jika makmum belum selesai melakukan tasyahud awal, sedang imamnya sudah selesai terlebih dahulu, maka baginya boleh meninggalkan diri guna menyempurnakan tasyahud, bahkan hal ini disunahkan, jika yakin ia dapat menyempurnakan Fatihahnya sebelum sang imam rukuk (jika ia tidak meyakinkan hal itu, maka hukum menyempurnakan bacaan tasyahud adalah boleh saja, dan baginya diampuni atas ketertinggalan tiga rukun dengan imamnya -pen). Tidak sunah meninggalkan diri guna menyempurnakan bacaan surah, bahkan makruh jika ia Udak bisa menyusul imam dalam rukuk.
  1. Di antara syarat gudwah adalah tidak tertinggal dari imam sejauh dua rukun fi’li yang sambung-menyambung dan sempurna tanpa uzur, disengaja dan ia mengerti hukum haramnya, sekalipun kedua rukun tersebut tidak panjang.  Apabila ia tertinggal dua rukun seperti di atas, maka salatnya batal, karena terjadi ketidakseraian. Contohnya: Imam sudah rukuk, iktidal lalu turun untuk sujud -maksudnya sudah. berdiri lagi-, sedang makmum masih berdiri. Tidak termasuk ketentuan “dua rukun fi’li”, apabila tertinggal dua rukun gauli atau satu .yrukun gauli dan satu lagi rukun fi’li.
  1. Tidak tertinggal dari imam tanpa uzur yang menetapkannya sejauh tiga rukun atau lebih panjang. Tidak terhitung rukun ‘salat yang panjang adalah iktidal dan duduk di antara dua sujud. Contoh tertinggal (karena uzur): Imam dalam bacaannya terlalu cepat, sementara makmum lambat karena pembawaan. tidak mampu membaca cepat -bukan karena was-was-, atau makmum lambat gerakan-gerakannya.

Misalnya lagi makmum menanti diam imam setelah membaca Fatihah sebagai pemberian kesempatan bagi makmum untuk membaca Fatihah, tahutahu imam langsung rukuk sesudah membaca Fatihah. Misal lain lagi, makmum lupa membaca Fatihah sehingga imam Sudah rukuk. Atau misalnya makmum merasa ragu atas bacaan Fatihahnya sebelum imam rukuk.

Tentang tertinggal karena waswas, sebagaimana makmum selalu mengulang-ulang kalimat tanpa ada yang mengharuskan, maka hal ini tidak bisa dianggap suatu uzur. Guru kami berkata: Sebaiknya bagi orang yang berpenyakit was-was yang sampai parah, seperti sudah menjadi pembawaan, sehingga setiap orang yang melihatnya selalu memastikan, bahwa was-was seperti itu tidak mungkin dihindari lagi, hendaklah orang tersebut mengerjakan sebagaimana orang yang lambat geraknya.

Bagi makmum pada contoh-contoh tersebut (selain yang lambat gerakannya), wajib menyempurnakan Fatihah, selagi tidak terlambat tiga rukun yang panjang-panjang. Apabila makmum karena suatu uzur, ia terlambat tiga rukun yang panjang, misalnya belum selesai membaca Fatihah, tapi imam sudah berdiri kembali dari sujud atau sudah duduk tasyahud, maka makmum yang seperti ini wajib menyesuaikan diri dengan imam dalam rukun keempat, yaitu berdiri atau duduk tasyahud, tanpa memperhatikan ketertiban salatnya sendiri, kemudian setelah salam imam, ia wajib menambah rakaat yang kurang.

Apabila ia tidak mau menyesuaikan diri dengan yang dilakukan imam dalam rukun keempat, padahal ia mengerahui atas kewajiban mengikutinya, dan dia tidak berniat mufaragah dari imam, maka salatnya menjadi batal, Jika ia mengerti dan sengaja melakukannya.

Apabila makmum rukuk bersama imam dan merasa ragu: Sudah membaca Fatihah atau belum, atau ingat bahwa dia belum membacanya, maka ia, tidak boleh kembali berdiri, dan setelah imam salam, ia wajib menambah rakaat.

Jika ia kembali berdiri dengan mengetahui serta sengaja, maka batal salatnya. Kalau tidak tahu atau tidak sengaja, maka salatnya tidak batal. Jika ia telah yakin membacanya, tapi merasa ragu atas sempurnanya, maka hal ini tidak membawa pengaruh apa-apa.

Jika makmum masbuk terleka Masbuk adalah makmum yang Udak mendapatkan imam berdiri dalam waktu yang cukup untuk membaca Fatihah dengan ukuran biasa. Masbuk adalah kebalikan makmum muwafik. Jika makmum merasa ragu, apakah mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca Fatihah? Maka hendaklah meninggalkan Fatihah dan dianggap tidak mendapatkan rakaat jika ia tidak sempat rukuk bersama imam.

(Terleka) dengan melakukan sunah, misalnya membaca Ta’awudz atau doa Iftitah, atau ia (masbuk) tidak terleka . sesuatu, misalnya ia hanya diam dalam waktu setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Fatihah, padahal ia mengerti, bahwa kewajibannya adalah membaca Fatihah, atau ia hanya diam mendengarkan bacaan imam, maka bagi makmum masbuk yang seperti itu wajib membaca Fatihah sesudah rukuk imam. Baik ia meyakinkan akan dapat menyusul imam sebelum bangkit dari sujud atau tidak meyakinkannya, menurut beberapa tinjauan wajah hukum: yaitu membaca Fatihah seukuran huruf yang dibaca dalam kesunahan tersebut, menurut perkiraan atau sepanjang lamanya diam. Demikian ini, karena ia kurang hati-hati atas pindah dari fardu menuju sunah.

Dianggap suatu uzur bagi makmum masbuk yang tertinggal karena (membaca Fatihah) seukuran bacaan sunah di atas, seperti hukum orang yang lambat bacaannya (yaiw diampuni tiga rukun yang panjang-panjang -pen), sebagaimana yang dikatakan oleh dua Guru kami (Imam AnNawawi dan Ar-Raff’i), seperti halnya Imam Al-Baghawi, dengan alasan wajib meninggalkan diri. Karena itu, ia wajib meninggalkan rakaat selagi tidak tertinggal tiga rukun salat.

Lain halnya dengan pendapat yang dipegang oleh segolongan Muhaqqiqun, bahwa makmum masbuk seperti di atas, tidak dianggap uzur, lantaran berbuat sembrono dengan pindah ke sunah tersebut. Pendapat ini dimantapkan oleh Guru kami (Ibnu Hajar) dalam Syarah Minhaj dan Fatawa-nya. Kemudian beliau berkata: Bagi orang yang menganggapnya sebagai uzur, maka anggapan tersebut perlu ‘ ditakwili. Berpijak dengan pendapat segolongan Muhaggigun, bagi makmum yang tidak bisa menyusul imam dalam rukuk, maka ia tidak mendapatkan rakaat.

Ia tidak boleh rukuk, sebab apa yang dilakukan tidak dianggap, tetapi ia harus mengikuti imam turun untuk sujud (setelah imam salam nanti ia menambah rakaat). Kalau tidak mengikuti imam, maka salatnya menjadi batal, jika hal ini disengaja dan mengerti hukumnya.

Lalu beliau meneruskan perkataannya: Pendapat yang beralasan, bahwa makmum masbuk di atas adalah meninggalkan diri guna membaca bacaan yang wajib baginya sampai imam sujud. Kemudian, jika ia dapat menyempurnakan bacaan tersebut, maka ia wajib menyesuaikan diri dengan imam (turun untuk sujud) tanpa rukuk. Kalau tidak muwafagah, maka salatnya menjadi batal jika disengaja dan mengetahui hukumnya. Kalau tidak bisa menyempurnakan bacaannya, maka harus mufaragah (memisahkan diri) dari imam dengan niat.

Guru kami dalam kitab Syarah. Al-Irsyad berkata: Yang lebih dekat dengan penukilan nash Imam Syafi’i, adalah yang pertama (pendapat yang diikuti oleh Imam Rafi’i dan Nawawi), dan di sini pula pendapat sebagian besar ulama Mutaakhirin. Jika makmum seperti tersebut rukuk sebelum membaca Fatihah seukuran bacaan sunah yang telah dibaca, maka salatnya menjadi batal. “

Dalam kitab Syarah Minhaj yang diriwayatkan dari sebagian besar Ashhabusy Syafi’i, bahwa makmum tadi boleh rukuk tanpa membaca Fatihah. Pendapat inilah yang dipilih. Bahkan segolongan ulama Mutaakhirin mengunggulkan pendapat ini dan banyak d antara mereka yang mengmukakan dalil alasannya, juga ucapan Imam Rafi’i-Nawawi bertepatan dengan pendapat ini.

Adapun apabila makmum masbuk tadi tidak mengetahui, bahwa kewajibannya adalah membaca Fatihah, maka keterlambatan membaca Fatihah seukuran bacaan sunah, dianggap ketertinggalan yang uzur, demikian menurut pendapat Imam Al-Qadhi Husain.

Tidak termasuk ketentuan “masbuk”, jika yang terlambat adalah makmum muwafik, maka jika ia tidak bisa menyempurnakan Fatihah lantaran terleka membaca bacaan sunah, seperti Doa Iftitah, sekalipun ia tidak punya perkiraan dapat menyusul imam dalam Fatihah, makmum muwafik yang seperti ini dihukumi seperti makmum yang lambat bacaannya sebagaimana di atas, tanpa ada pertentangan lagi.

Makmum yang mendahului atas imamnya dengan sengaja dan mengetahui hukumnya, sejauh dua rukun fi’li, sekalipun tidak panjang, adalah dapat membatalkan salat, sebab hal ini dipandang berselisihan dengan imam yang sudah fuhsyah.

Gambaran makmum mendahului imamnya dua rukun fi’li secara sempurna, adalah sebagai berikut: Makmum rukuk, iktidal, lalu bersungkur untuk sujud misalnya, sedangkan imam masih berdiri, atau begini: Makmum rukuk sebelum imam akan mengangkat kepala dari rukuk, maka makmum bersujud. Dengan demikian, makmum tidak berkumpul dengan imamnya dalam perbuatan rukuk dan iktidal.

Apabila mendahului dua rukun itu karena lupa atau tidak mengerti hukumnya, maka tidak apa-apa, namun dua. rukun itu tidak dihitung. Karena itu, jika tidak mengulanginya dengan imam lantaran lupa atau bodoh, maka setelah imam salam, ia wajib menambah rakaat. Kalau tidak karena lupa atau bodoh (tetapi disengaja atau mengerti hukumnya), maka ia harus mengulangi salatnya, (sebab salat yang dikerjakan itu batal -pen),

Bagi makmum yang mendahului atas imamnya sejauh satu rukun fi’li secara sempurna, dengan disengaja dan mengerti hukumnya, misalnya makmum telah rukuk dan bangkit darinya, sedangkan imam masih berdiri, adalah haram hukumnya. Lain halnya makmum tertinggal dari imam satu rukun fi’li, hukumnya hanya makruh, seperti keterangan yang akan datang. Barangsiapa mendahului imamnya satu rukun, maka baginya sunah kembali untuk menyesuaikan dengan imamnya, bila hal ini terjadi karena disengaja, baginya boleh kembali dan boleh tidak.

Kebersamaan makmum dengan imam dalam melaku-kan rukun-rukun fi’li atau gauli selain takbiratul ihram, hukumnya adalah makruh, sebagaimana halnya terlambat satu rukun yang sampai imam selesai melakukannya, atau mendahului imam dengan memulai suatu rukun.

Tiga hal tersebut, jika dijakukan dengan sengaja, maka bisa menghilangkan fadhilah salat jamaah. Jamaah tetap sah, tapi tidak mendapat pahala jamaah. Karena itu, dosa meninggalkan jamaah (atas pendapat yang mengatakan fardu berjamaah) adalah gugurnya, begitu juga kemakruhan meninggalkannya (atas pendapat yang mengatakan sunah jamaah -pen).

Ucapan segolongan ulama: Hilang fadhilah jamaah itu menetapkan baginya sudah keluar dari mengikuti imam, sehingga ia seperti orang yang salat sendirian, dan (jika hal ini . terjadi pada jamaah Jumat, maka tidak sah salatnya (sebab salat Jumat harus berjamaah), ucapan tersebut adalah tidak benar, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam AzZarkasi dan lainnya.

Ketentuan hilang fadhilah berjamaah ini berlaku pada setiap kemakruhan yang bisa terjadi dalam jamaah saja, dan tidak bisa terjadi di luar jamaah. Yang sunah bagi makmum adalah mulai melakukan sesudah imam memulainya, setelah imam selesai melakukannya, baru makmum menyelesaikannya. Yang lebih sempurna dari ini: Permulaan makmum melakukan itu, adalah setelah gerakan’gerakan imam berhenti, dan makmum jangan mulai melakukan, sehingga nyata-nyata imam telah pindah pada rukun selanjutnya.

Karena itu, makmum tidak perlu membungkuk dahulu untuk rukuk atau sujud, sehingga imam telah meletakkan keningnya pada tempat sujud. Apabila makmum bersamaan dengan imam dalam melakukan takbiratul ihram, atau telah nyata, bahwa imam bertakbiratul ihram setelah makmum, maka salat makmum tidak jadi (sebab takbiratul ihramnya tidak sah).

Tidaklah mengapa dengan adanya bacaan takbir imam secara pelan untuk takbir yang kedua, jika para makmum tidak mengerti hal itu (tidak Merasa mendahului takbir imam). Tidak mengapa pula, jika makmum bersamaan salam imam, mendahului membaca Fatihah atau tasyahud imam, misalnya makmum telah selesai, sedang imam belum memulai. Ini semua tidak menjadi masalah.

Dikatakan: Makmum wajib mengulangi bersama perbuatan imam atau sesudahnya, yang terakhir ini adalah lebih utama. Berpijak dengan pendapat ini, jika makmum tidak mengulanginya, maka batallah salatnya. Memperhatikan perselisihan Seperti ini hukumnya adalah Sunah, sebagaimana halnya Sunah mengakhirkan seluruh bacaan Fatihah-nya dari Fat hah imam, sekalipun pada kedua rakaat salat Sirriyah, Jika memang makmum me Nyangka, bahwa imamnya membaca surah. Apabila ia yakin, bahwa imam hanya membaca Fatihah saja, maka bagi makmum wajib membaca Fatihah bersama imam.

 

  1. Tidak sah bermakmum dengan orang yang telah diyakini batal salatnya, sebagaimana imam melakukan perkara yang membatalkan salat, menurut iktikad makmum.

Umpama seseorang bermazhab Syafi’i bermakmum pada imam yang bermazhab Hanafi yang memegang farjinya dan ia tidak berbekam, kebatalan karena dipandang dari segi keyakinan orang yang bermakmum, sebab imam yang seperti itu adalah hadas menurut makmum yang Syafi’i sebab memegang farji, sebaliknya tidak batal sebab berbekam.

Maka, menghubungkan salat makmum dengan imam dianggap uzur, sebab menurut makmum, imam tidak dalam salat.

Apabila seorang makmum bermazhab Syafi’i merasa ragu terhadap imam yang berlainan mazhab, tentang perbuatanperbuatan wajib menurut makmum, maka tidak akan mempengaruhi kesahan salat, sebab untuk menjaga khusnuzhzhan (baik sangka) dalam menjaga perselisihan. Karena itu, tidak menjadi masalah dengan adanya ketidakyakinan tentang kewajiban perbuatan yang diperselisihkan itu.

 

Cabang:

Apabila imam berdiri lagi untuk rakaat tambahan -misalnya rakaat kelima- sekalipun karena lupa, maka bagi makmum tidak boleh mengikutinya, walaupun ia berstatus makmum Masbuk, atau ja sangsi atas rakaatnya. Akan tetapi, makmum tersebut memisahkan diri dan salam atau menunggu imam (dalam tasyahud), menurut pendapat yang Muktamad.

  1. Tidak sah bermakmum dengan orang yang berstatus menjadi makmum, sekalipun hanya diragukan adanya menjadi makmum yang sekalipun jelas berstatus menjadi imam.

Tidak termasuk dalam ketentuan “orang yang berstatus menjadi makmum”, apabila orang itu telah berakhir menjadi makmum. Misalnya makmum masbuk yang berdiri setelah imam salam, lantas ada orang lain bermakmum dengannya, maka salat orang ini adalah sah. Atau para makmum masbuk berdiri dan sebagian bermakmum kepada sebagian yang lain, maka ini pun sah menurut pendapat yang Muktamad, Tetapi hukumnya makruh.

  1. Tidak sah qari’ bermakmum kepada imam yang umi, yaitu orang yang merusak bacaan Fatihahnya, baik sebagian, seluruhnya ataupun hanya satu huruf saja darinya. Misalnya, secara keseluruhan ia tidak bisa membacanya, atau tidak bisa membaca yang sesuai makhraj atau tasydid, sekalipun hal itu karena ia sudah tidak mungkin untuk belajar, karena makmum tidak mengerti atas keadaan imamnya.

Demikian ini, karena ia tidak bisa menanggung bacaan Fatihah makmum, jika ia menemuinya dalam keadaan rukuk. Sah bagi makmum yang gari’ bermakmum kepada imam yang disangka (dimungkinkan) seorang yang umi, kecuali imam tersebut pada salat jamaah jahriyah tidak mau membaca dengan suara keras. Untuk itu, ia wajib mufaragah dengannya. Jika ia masih terus bermakmum dalam keadaan tidak mengetahui kalau imamnya seorang yang umi, hingga salam, maka ia wajib mengulangi salatnya, selagi tidak tampak jelas, kalau imamnya adalah qari’.

Masalah ketidaksahan bermakmum kepada umi adalah jika tidak sama-sama uminya, antara imam dan makmum, dalam huruf Fatihah yang tidak mereka mampui. Misal, makmumnya yang dapat membaca dengan baik, atau salah satu pihak dapat membaca dengan baik terhadap huruf-huruf yang pihak lainnya tidak bisa. Termasuk umi adalah “Aratta”, yaitu orang yang lantaran mengganti huruf, ia mengidghamkan huruf yang tidak semestinya. Juga “Altsagh”, yaitu orang yang mengganti huruf dengan huruf lain.

Orang-orang tersebut jika ada kemampuan untuk belajar, tapi mereka tidak mau belajar, maka salatnya tidak sah. Kalau tidak mungkin, maka salatnya sah saja, sebagaimana sah pula imam-makmum sama-sama umi.

Makruh bermakmum kepada imam yang selalu mengulang huruf ta’ (dalam Fatihah) dan imam yang selalu mengulang huruf fa’ (dalam bacaan tasyahud), juga dengan imam lahn (aksi-aksian) yang tidak sampai mengubah makna, misalnya membaca,dhammah pada lafal   لِلّهِ  atau membaca fathah dalnya lafal. نعبد , Apabila lahn itu sampai mengubah makna dalam Fatihah, seperti   أَنْعَمْتِ   membaca kasrah atau dhammah pada lafal.  أَنْعَمْتَ maka salat orang yang mampu untuk belajar, tapi tidak mau belajar adalah batal. Sebab yang dibaca itu bukan Qur-an lagi.

Memang, jika waktu salat telah mendesak, maka ia tetap wajib salat demi menghormati waktu, dan nanti ia wajib mengulangi. nya, sebab ia berbuat ke salahan (dengan meninggalkan belajar). Guru kami berkata: Yang jelas, orang yang lahn tersebut. bukan berarti membaca kalimat yang dimaksudkan sebenarnya, sebab apa yang dibaca dengan bacaan lain, pasti bukan Qur-an lagi. Karena itu, kesahan salat tidak digantungkan terhadap kalimat yang dilahnkan, tetapi pada sengaja melahn, sekalipun kejadian yang seperti ini juga dapat membatalkan salat.

Kalau lahn itu terjadi bukan pada Fatihah, maka salatnya tetap sah, begitu juga makmum dengannya. Kecuali bisa membaca secara tidak lahn, mengetahui hukum serta sengaja melakukannya, maka salatnya tidak sah, sebab berarti ia berkata berupa ucapan lain.

Apabila salat menjadi batal lantaran lahn pada selain Fatihah ini, maka batal pul bermakmum dengannya. Namun, menurut. Imam Al Mawardi, yang batal hanyala bagi makmum yang mengerti keadaannya.

Imam As-Subki memilih pendapat yang sesuai dengan pendapat Imam Al-Haramain: Bagi orang seperti di atas, tidak boleh membaca selain Fatihah, sebab ia nanti akan mengucapkan perkataan yang bukan Qur-an, yaitu perbuatan yang membatalkan salat tanpa ada darurat, secara mutlak (baik ia dapat mengucapkan hal itu dengan benar ataupun tidak mampu -pen).

Apabila bermakmum pada seseorang yang dikira berhak menjadi imam, tetapi ternyata tidak, misalnya dikira gari’, bukan makmum, orang lakilaki atau berakal sehat, tetapi ternyata mereka adalah umi, bermakmum, wanita, atau orang gila, maka ia wajib mengulangi salatnya. Demikian ini, karena kelalaian tidak mau meneliti dahulu.

Tidak wajib mengulanginya bagi orang yang bermakmum kepada imam yang dikira suci, tetapi ternyata menanggung hadas -sekalipun hadas besar-, atau membawa najis yang samar, sekalipun hal itu terjadi pada salat Jumat, bila telah melebihi 40 orang.

Sekalipun sang imam mengerti akan hadas dan najis pada dirinya, sebab tiada kelalaian pada makmum, karena tiada tanda akan najis dan hadas yang dapat diketahuinya. Dari sini, maka bagi makmum tetap mendapat fadilah jamaah.

Apabila imam yang dikira suci tersebut menanggung najis yang lahir (kelihatan), maka makmum wajib mengulangi salat, karena kelalaianya. Najis lahir adalah najis yang terdapat di luar baju, sekalipun : antara imam dan makmum terdapat penghalang. Pendapat yang Aujah dalam mengatasi najis lahir, adalah najis yang apabila makmum mau memperhatikan benarbenar, maka akan melihatnya. Sedangkan najis yang samar, adalah sebaliknya.

Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahpg membenarkan untuk tidak wajib mengulangi salat secara mutlak (baik najis lahir maupun khafi). Sah orang yang sehat bermakmum pada imam yang beser kencing, madzi atau kentut. Orang yang berdiri sah bermakmum pada imam yang salat duduk, orang yang berwudu pada imam yang tayamum, yang mana imam ,tersebut tidak wajib mengulangi salatuya sebab tayamum itu.

Makruh bermakmum pada imam yang fasik dan yang berbuat bid’ah, misalnya orang Rafidhi, sekalipun tidak terdapat imam selainnya. Hal ini jika memang tidak khawatir terjadi fitnah kalau tidak: bermakmum dengan mereka. Ada yang mengatakan: Bermakmum dengan mereka hukumnya tidak sah. Makruh juga bermakmum pada imam yang was-was dan quluf. Tidak makruh bermakmum pada imam hasil zina, tetapi hal ini menyelisihi keutamaan.

Iman As-Subki .dan pengikutnya memilih, bahwa bermak. mum pada imam-imam tersebut, tidak makruh lagi, jika memang hanya mereka saja yang ditemukan. Bahkan jamaah dalam keadaan.seperti itu, adalah lebih utama daripada salat sendirian. Guru kami dengan kuat masih tetap menghukumi makruh dalam keadaan tersebut, bahkan yang lebih utama adalah salat sendirian. Sebagian Ash-habus Syafi’i berkata: Menurut pendapat yang Aujah bagiku, adalah apa yang dikatakan oleh Imam As-Subki ra.

Penutup:

Uzur jamaah, begitu juga salat Jumat:

  1. Hujan yang sampai membasahi pakaian, berdasarkan Sebuah hadis sahih, bahwa Nabi saw. memerintahkan agar Melakukan salat di pondokan Tasing-masing di waktu hujan lang. sampai membasahi bagian bawah sandal. Lain halnya jika hujan tidak sampai membasahinya. Memang begitu, namun tetesan air dari atap-atap rumah di tepi jalan, sekalipun tidak sampai membasahinya, adalah dianggap suatu uzur, lantaran kemungkinan besar air itu membawa najis atau kotoran.
  1. Jalan berlumpur, sehingga sulit menghindari pengotorannya ketika berjalan atau tergelincir.
  2. Amat panas, sekalipun menemukan naungan untuk berjalan.
  3. Amat dingin.
  4. Amat gelap di malam hari.
  5. Sakit parah, sekalipun belum boleh duduk dalam melakukan salat fardu. Tidak termasuk uzur, adalah sedikit pusing kepala.
  6. Menahan hadas, baik itu air kencing, berak atau kentut. Maka, makruhlah salat dengan menahan hadas, sekalipun khawatir tertinggal jamaah bila memenuhi hadasnya terlebih dulu/mengosongkan dirinya dari hadas, sebagaimana yang diterangkan oleh segolongan ulama. Penahanan hadas di tengahtengah melakukan salat fardu, adalah tidak diperbolehkan memutus salat itu. Masalah penahanan hadas termasuk uzur ini, jika waktu salat masih longgar, kira-kira bila digunakan untuk mengosongkan diri dari hadas, masih cukup salat dengan sempurna. Kalau waktu sudah sempit, maka haram menunda salat sampai selesai, kemudian hadas terlebih dahulu.
  1. Tidak menemukan pakaian yang pantas, sekalipun menemukan penutup aurat.
  2. Teman-teman bepergian bagi orang yang akan bepergian yang mubah telah berangkat, sekalipun akan aman jika sampai bepergian sendirian. Hal ini karena ada masagat kesepian dalam perjalanan.
  3. Takut terhadap orang zalim, bagi orang yang berhak untuk dilindungi (ma’shum), baik yang dikhawatirkan itu berupa harga diri, jiwa ataupun harta.
  4. Bagi pengutang yang belum dapat membayar, takut akan ditahan oleh pihak pemiutangnya.
  5. Merawat orang yang sakit, sekalipun bukan sanak kerabatnya yang tidak ada orang yang merawatnya, sanak kerabatnya yang sakit keras: atau tidak sakit keras, tapi merasa gembira atas rawatannya.
  6. Sangat mengantuk pada waktu menunggu jamaah.
  7. Sangat lapar dan dahaga.
  8. Buta, jika tidak ada penuntun jalan yang mau digaji dengan harga umum, sekalipun dapat berjalan dengan menggunakan tongkat.

 

Peringatan!

Semua uzur di atas dapat menghapus kemakruhan meninggalkan jamaah, sekira dihukumi sunah, dan menghilangkan dosanya, sekira dihukumi wajib berjamaah. (Bagi orang yang meninggalkan jamaah sebab uzur), ia udak bisa mendapat fadilah jamaah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam AnNawawi dalam Al-Majmu.

Selain Imam An-Nawawi memilih pendapat sebagaimana pendapat segolongan ulama Mutakadimin, bahwa fadilah jamaah tetap didapatkan, jika bermaksud melakukan jamaah andaikata tidak ada uzur. Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Sunah bagi orang yang meninggalkan Jumat tanpa uzur, agar bersedekah satu dinar atau setengah dinar, sebagaimana yang diterangkan hadis Abu Dawud dan lainnya.

 

(* Muhammad Farid Wajdi, Guru/Pengasuh Ponpes Modern Putri IMMIM Minasatene-Pangkep.

Immim pangkep

Tulisan Lainnya

Catatan Kelam Sejarah Biadab PKI
Oleh : Immim pangkep

Catatan Kelam Sejarah Biadab PKI

Nadhom Imrithi dan Terjemahnya
Oleh : Immim pangkep

Nadhom Imrithi dan Terjemahnya

0 Komentar

KELUAR