Rabu, 15 Mei 2024
  • Pondok Pesantren Putri IMMIM Pangkep, Pesantren yang khusus menerima santri putri ini, kampusnya berada di bilangan jalan poros Kecamatan Minasatene Kabupaten Pangkep

Mengakrabi Kitab ‘Fikih’ Fathul Muin dan Terjemahnya Bab Shalat (6)

Mengakrabi Kitab ‘Fikih’ Fathul Muin dan Terjemahnya Bab Shalat (6)

Oleh: Muhammad Farid Wajdi *)

BLOGGURU – Melanjutkan pembahasan Bab Shalat dalam Kitab Fathul Muin, pada Bagian Pertama telah dituliskan terjemah dari Syarat-syarat Shalat, dan Bagian Kedua, diketengahkan Pasal tentang Sifat-sifat Shalat, yang mana diuraikan terjemah Rukun-rukun Shalat, sebagaimana tertulis dalam Kitab Fikih karya Syekh Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibari tersebut. Pada Bagian ketiga, telah dibahas tentang Sunnah-sunnah Ab’adh Shalat dan Penyebab Sujud Sahwi serta Sujud Tilawah, dan pada Bagian Keempat telah dibahas Pasal tentang yang Membatalkan Shalat. Pada bagian kelima juga telah diketengahkan pembahasan tentang Shalat Sunnah. Pada bagian keenam ini akan disajikan terjemah terkait Pasal Shalat Berjamaah.

 

Salat berjamaah ditetapkan di Madinah. Jamaah itu paling sedikit terdiri dari imam dan seorang makmum. Tingkat keutamaan jamaah, adalah sebagai berikut: Jumat, salat Subuh hari Jumat, Salat Subuh, Isyak, Asar, Zhuhur, kemudian Magrib.

Salat berjamaah pada salat ada lima waktu -bukan salat Jumathukumnya adalah sunah mua- kad. Berdasarkan hadis Muttafag ‘alaih: “Salat berjamaah itu lebih utama dari salat sendirian, selisih dua puluh tujuh derajat.” Kelebihan seperti yang ditunjukkan oleh hadis, adalah. menetapkan kesunahan saja. Hikmah kelebihan 27 derajat, adalah bahwa berjamaah mengandung faedah sebesar itu, yang melebihi salat sendirian.

Tidak masuk dalam ketentuan “ada’ (tunai)”, adalah salat maktubah itu dikerjakan secara kadha. Tetapi, jika antara makmum dengan unam dalam mengerjakan salat kadha itu sama, maka hukumnya sunah berjamaah. Jika tidak sama, maka hal itu menyelisihi keutamaan (khilaful aula), seperti halnya salat ada bermakmum dengan salat kadha atau sebaliknya, salat fardu dengan imam salat sunah atau sebaliknya, dan salat Tarawih bermakmum dengan imam salat Witir atau sebaliknya.

Tidak masuk dalam ketentuan “Maktubah”, adalah salat nazar dan salat sunah. Untuk jtu tidak sunah berjamaah, tapi juga tidak dimakruhkan melakukannya. Imain An-Nawawi berkata. Al-Ashah, bahwa salat berjamaah hukumnya fardu kifayah atas laki-laki bahg, merdeka dan bermukim, untuk salat ada’ saja. Demikian itu dimaksudkan agar dapat menambah syiar di tempat didirikan jamaah.

Dikatakan: Hukum berjamaah adalah fardu ain, dan ini adalah . pendapat Imam Ahmad. Dikatakan lagi: Hukumnya adalah merupakan syarat sah salat. Kemuakkadan sunnah shalat berjamaah bagi wanita, tidak sekuat bagi laki-laki. Karena itu, kemakruhan meninggalkan jamaah hanya bagi laki-laki, bukan wanita.

Berjamaah salat maktubah di mesjid bagi laki-laki, adalah lebih utama. Memang! Jika jamaah. hanya didapati di rumahnya saja, maka inilah yang lebih utama. Demikian juga, di rumah lebih utama, Jika jamaahnya lebih banyak daripada di mesjid. Demikian inilah yang di: pegangi oleh Imam Al-Adzra’i dan Jainnya. Guru kami berkata: Ditinjau dari berbagai wajah, adalah kebalikannya.

Jika terjadi perlawanan antara fadhilah salat di dalam mesjid (tanpa berjamaah) dengan salat di luar mesjid (tapi dengan berjamaah), maka yang didahulukan adalah mana yang lebih jelas fadhilahnya (yaitu berjamaah). Karena fadhilah yang berkaitan dengan keadaan ibadah itu sendiri lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempat atau masanya. Sedangkan fadhilah yang berkaitan dengan masa itu lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempatnya.

Disunahkan mengulangi salat maktubah (karena ada jamaah), dengan syarat jamaah tersebut berada pada waktunya, dan pengulangannya tidak lebih dari satu kali dalam hal ini guru dari Guru kami, yaitu Imam Abil Hasan Al-Bakri berpendapat lain (pengulangannya tanpa batas -pen), sekalipun salat yang pertama dilakukan secara berjamaah bersama orang lain, meskipun hanya seorang, baik dia mengulangi salatnya sebagai orang yang menjadi imam atau makmum dalam salat yang pertama atau kedua, dan dengan syarat-berniat fardu, sekalipun salat ini nanti menjadi sunah. Karena itu, ia harus berniat mengulangi salat yang difardukan.

Imam Al-Haramain memilih ketentuan, bahwa dalam hal ini hendaknya dijelaskan, salat Zhuhur atau Asar misalnya, tidak wajib menjelaskan kata. fardu. Demikianlah pendapat yang diunggulkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah. Tetapi, pendapat pertamalah yang diunggulkan Oleh kebanyakan ulama.

Yang dianggap salat fardu, adalah salat yang pertama Walaupun telah jelas, bahwa Salat pertama rusak (batal), Maka salat kedua tidak cukup Menjadi penggantinya, Menurut pendapar yang dipegangi Oleh Imam Nawawi dan Guru kami.

Lain halnya dengan pendapat guru beliau, yaitu Imam Zakariya, yang mengikuti Imam Al-Ghazali dan pendapat Imam Ibnul ‘Imad (mereka berpendapat, bahwa salat kedua tersebut bisa mengganti yang pertama -pen), Maksudnya, Jika dengan salat fardu (kalau yang ini tidak ada pertentangan dengan Guru kami di atas -pen).

Berjamaah dengan jamaah yang banyak, adalah lebih utama daripada jamaah yang sedikit pesertanya, berdasarkan sebuah hadis “.. lalu mana yang lebih banyak, itulah yang lebih disenangi “Allah swt.”, Kecuali imam yang peserta jamaahnya melakukan bid’ah, misalnya ia beraliran Rafidhi atau melakukan kefasikan, sekalipun hanya sekadar dakwaan orang: Maka jamaah yang sedikit pesertanya adalah lebih utama. Bahkan salat sendirian adalah lebih utama (daripada berjamaah dengan imam yang melakukan bid’ah -pen). Demikianlah, seperti apa yang dikatakan oleh Guru kami dengan mengikuti guru beliau, Imam Zakariya r.a.

Demikian pula jika imam yang peserta jamaahnya banyak itu tidak beriktikad wajib atas sebagian dari rukun-rukun atau syarat-syarat salat (misalnya imam Hanafi, yang tidak beriktikad terhadap kewajiban membaca basmalah dan menghadap ‘Ainul giblah menurut persyaratan, tapi cukuplah dengan Jihatul giblah -pen), sekalipun dia sendiri melakukannya. Karena yang demikian ini berarti ia melakukan kewajiban yang dimaksudkan sebagai kesunahan, di mana hal ini dapat membatalkan salat menurut mazhab kita (Syafi’i).

Atau (lebih utama jamaah yang sedikit pesertanya) jika yang sedikit itu dilaksanakan di dalam mesjid yang diyakini kehalalan tanah atau harta pembangunannya. Atau karena mesjid -yang dekat dari tempat jamaah atau jauh menjadi kosong lantaran dia tidak hadir di situ, sebab dia menjadi imamnya atau orang-orang tidak mau hadir bilamana dia tidak hadir. Karena itu, jamaah di mesjid lebih utama daripada jamaah di tempat lain, sekalipun pesertanya banyak.

Bahkan sebagian ulama membahas, bahwa salat sendirian di mesjid yang menjadi kosong sebab kepergiannya, adalah lebih utama daripada berjamaah di lainnya. Menurut pendapat yang lebih beralasan, adalah kebalikannya. Apabila imam yang ada pada jamaah sedikit pesertanya itu lebih utama sebagai imam, misalnya karena ilmunya, maka ikut berjamaah dengan dia adalah lebih utama. Apabila berlawanan antara khusyuk dengan berjamaah (jika salat sendirian bisa khusyuk, tapi jika berjamaah tidak bisa khusyuk -pren), maka yang didahulukan adalah berjamaah. Karena para ulama sepakat, bahwa fardu kifayah itu lebih utam daripada sunah. :

Imam Al-Ghazali menge uarkan fatwa, yang kemudian diikuti oleh Imam Abul Hasan Al-Badri dalam Syarah Kabir alal Minhaj, bahwa yang lebih utama adalah salat sendirian bagi orang yang tidak dapat khusyuk dengan berjamaah dalam sebagian besar salatnya. Guru kami berkata: Memang demikian, jika kekhusyukan dalam salat hilang semua, maka salat sendiri adalah lebih utama (tapi dalam kitab Tuhfah dan Fat-hul Jawab, milik Guru kami tersebut, beliau tetap mengatakan yang lebih utama adalah jamaah -pen). Sedangkan fatwa Imam Ibnu Abdis Salam, bahwa khusyuk yang lebih utama secara mutlak, adalah fatwa yang bertitik tolak pada pendapat bahwa jamaah hukumnya sunah.

Apabila bertentangan antara bisa mendengarkan. bacaan Algur-an dari imam dengan jamaah yang pesertanya sedikit, tanpa dapat mendengarkan bacaannya, tapi pesertanya banyak, maka yang lebih utama adalah yang pertama, Bagi orang yang salat sendirian, boleh niat bermakmum dengan imam di kala ia berada di tengah-tengah salatnya, sekalipun berselisih bilangan rakaat antara dia dengan imamnya. Namun, hal itu makruh hukumnya, kecuali bagi makmum yang keluar dari jamaah salat, karena semisal imamnya berhadas. Kalau demikian, tidaklah makruh ikut berjamaah dengan yang lain (baru).

Apabila mulai niat bermakmum di tengah-tengah salatnya, maka ia wajib menyesuaikan diri dengan imam. Kalau: ternyata imam telah: selesai terlebih dahulu, maka ia menyempurnakan salatnya seperti makmum masbuk. Jika imamnya tidak selesai dahulu, maka yang lebih utama adalah menantinya (daripada mufaraqah -pen).

Hukum mufaraqah tanpa ada uzur adalah boleh, tapi makruh, karena itu, fadhilah jamaah terlepas. Mufaraqah sebab ada uzur, misalnya ada kemurahan meninggalkan jamaah, karena imam meninggalkan kesunahan magsudah (sunah yang jika ditinggalkan disunahkan sujud sahwi, atau perbuatan sunah tersebut masih diperselisihkan akan kesunahan dan kewajibannya -pen), misalnya tasyahud awal, qunut dan membaca surah, atau karena imam memperpanjang salat, padahal makmumnya dalam keadaan lemah atau masih punya kesibukan, semua itu tidak menghilangkan fadhilah jamaah.

Terkadang mufaraqah itu hukumnya wajib. Misalnya terjadi sesuatu yang membatalkan salat imam, maka bagi makmum wajib mufaraqah seketika. Jika tidak, maka salatnya menjadi batal, sekalipun ia tidak mengikutinya. Hal ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Majmu’.

Fadhilah salat berjamaah bisa diperoleh bagi orang yang salat selain pada salat Jumat, selagi imam belum membaca salam. Maksudnya, helum sampai mengucapkan huruf mim pada lafal “alaikum” dalam salam Pertama, sekalipun ia tidak sempat duduk bersama Imam misalnya imam salam setelah ia bertakbuatul ihram,

Demikian itu, karena ia masih mendapatkan rukun bersama imam (yaitu takbiratul ihram ypen), karena itu, ja mendapat semua pahala berjamaah dan fadhilahnya. Tetapi di bawah keutamaan orang yang mendapatkan imam sepanjang salatnya.

Barangsiapa mendapatkan sebagian salat imam dari yang awal, kemudian karena ada uzur ia mufaraqah, atau imamnya keluar dari salat karena semacam hadas, maka makmum tetap mendapatkan fadhilah berjamaah. Tentang salat Jumat, adalah belum dianggap mendapatkan rakaat, kecuali telah mendapatkan satu rakaat, seperti akan diterangkan nanti.

Sunah bagi kelompok yang baru hadir, sedangkan imam telah selesai rukuk yang terakhir, agar mereka sabar sampai dengan imam salam, kemudian mereka mulai bertakbiratul ihram (berjamaah), jika memang waktu salat belum, sempit.

Sunah bersabar pula, bagi orang yang baru tertinggal sebagian salat imam, serta ia mengharap akan didirikan jamaah lain yang dapat ia ikuti keseluruhannya. Tetapi, Guru kami dalam hal ini berpendapat: Kesunahan di atas, jika dengan penantian itu tidak menghilangkan fadhilah awal waktu atau waktu ikhtiar, baik ia mengharap atau berkeyakinan akan didirikan jamaah lain. Sebagian ulama berfatwa: Apabila seseorang bermaksud mengikuti jamaah, tetapi ia tidak bisa menemukannya, maka baginya tetap ditulis pahala berjamaah, berdasarkan sebuah hadis.

Fadhilah takbiratul ihram bisa didapatkan dengan kedatangan makmum pada waktu imam sedang melakukannya, dan dia pun mengikutinya setelah itu tanpa menunda-nunda. Jika waktu imam bertakbiratul ihram makmum belum datang atau sudah datang, tapi ia menunda-nunda waktu, maka hilanglah fadhilah takbiratul ihram. Memang! Tetapi bisa diampuni apabila hal itu karena sedikit was-was.

Mendapatkan takbiratul ihram bersama imamnya, adalah suatu fadhilah tersendiri, yang diperintahkan pencapaiannya. Demikian ini karena hal itu merupakan pilihan dalam salat, dan karena orang yang bisa : melakukan terus-menerus selama empat puluh hari, baginya ditulis sebagai orang yang terbebas dari api neraka dan lepas dari nifak, sebagaimana tersebut dalam hadis.

Dikatakan: Bahwa fadhilah takbiratul ihram bisa didapatkan, sebab mendapat sebagian berdiri imam. Sunah tidak tergesa-gesa (waktu berangkat/berjalan berjamaah) sekalipun khawatir akan tertinggal takbiratul ihram. Demikian pula akan tertinggal jamaah menurut pendapat yang Ashah, kecuali salat Jumat: karena itu, wajib berjalan sekuatnya, jika berharap dapat menemukan takbiratul ihram sebelum imam membaca salam.

Sunah bagi imam dan yang salat sendirian, menanti orang yang baru masuk salat dengan maksud bermakmum, di saat rukuk atau tasyahud akhir: demikian itu mereka lakukan hanya karena Allah Ta’ala dan tanpa memperpanjang atau membeda-bedakan antara orang-orang yang masuk, sekalipun hal ini didasarkan atas ilmu yang dimiliki.

Sunah pula menanti di saat sujud kedua, dimaksudkan agar makmum muwafik bisa menyusulnya, guna menyempurnakan bacaan Al-Fatihah. Tidak sunah menanti orang yang berada di luar tempa salat, sekalipun mesjidnya berbentuk kecil.

Tidak sunah juga orang yang memang mempunyai kebiasaan lambat dan mengakhirkan takbiratul ihram sampai imam rukuk. Bahkan yang sunah adalah tidak menantinya sebagai pengajaran kepadanya. Imam Al-Faurani berkata: Haram menantinya, berdasarkan sifat cinta (bukan karena Allah).

Sunah bagi imam agar meringankan salatnya, karena masih melaksanakan sunah ab’adh dan haiat, asal jangan sampai mencukupkannya dengan mengerjakan “batas yang harus dilakukan” dan jangan mengerjakan yang paling sempurna, kecuali mahshur yang rela untuk diperpanjang.

Makruh bagi imam memperpanjang salatnya, sekalipun bertujuan agar orang-orang yang lain bisa menyusulnya. Jika orang yang sedang. salat (munfarid, imam maupun makmum) melihat semacam kebakaran, hendaklah mempercepat salatnya. Dalam hal ini, wajib ataukah tidak? Di sini terdapat dua pendapat, pendapat yang beralasan mengatakan wajib, adalah karena menyelamatkan binatang yang dinilai mulia: dan baginya boleh mempercepat salat karena ingin menyelamatkan semacam harta benda.

Begitu juga, boleh mempercepat salat bagi orang yang mengetahui ada binatang muhtaram akan dianiaya oleh orang yang zalim: atau binatang itu akan tenggelam, maka wajib menyelamatkannya dan mengakhirkan salat atau membatalkannya bila ketepatan sedang salat: Kalau yang dianiaya orang zalim itu berupa harta, maka menyelamatkannya adalah boleh dan makruh jika meninggalkannya.

Makruh melakukan salat sunah setelah ikamah dikumandangkan, sekalipun tanpa seizin imam.: Apabila seseorang tersebut bertepatan masih dalam salat sunahnya, maka sunah menyempurnakannya jika ia tidak khawatir akan tertinggal dari jamaah. Apabila khawatir, maka yang sunah adalah memutusnya, lalu Mengerjakan (mengikuti) : Jamaah, jika ia sudah tidak mengharap akan didirikan Jamaah lain. (*)

Immim pangkep

Tulisan Lainnya

Pengantar Fikih dan Ushul Fikih
Oleh : Immim pangkep

Pengantar Fikih dan Ushul Fikih

1 Komentar

rere, Senin, 18 Jul 2022

thanks

Balas

KELUAR